Nilai-Nilai
Budaya adalah Perekat yang sangat kuat untuk mempersatukan suatu
Bangsa. Hal ini disadari betul oleh para founding fathers bangsa kita,
maka mereka membangun negara diatas landasan kebudayaan.
Sayangnya, hingga hari ini pun
banyak ilmuwan kita yang tidak memahami hal ini. Mereka masih
beranggapan bahwasanya Budaya Nusantara hanyalah sebuah Mitos. Mereka
masih menganggap Budaya Jawa lain dari Budaya Sunda, dan Budaya Sunda
beda dengan Budaya Minang. Anggapan keliru itu terjadi, karena umumnya
kita masih menyalahartikan adat sebagai budaya.
Adat Jawa barangkali beda dengan
Adat Minang, pun demikian dengan adat-adat lain – namun
Unggulan-Unggulan dari setiap adat atau kebiasaan itu Satu dan Sama.
Dan, para founding fathers kita
mengumpulkan Unggulan-Unggulan itu – maka terkumpulah Lima Unggulan yang
bersifat Universal dan ada dalam setiap adat di setiap daerah dan
setiap pulau. Lima Unggulan ini yang kemudian dikenal sebagai Lima Butir
Pancasila, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat,
dan Keadilan serta Kesejahteraan Sosial.
Dalam Lima Butir Pancasila
tersebut, kita semua bertemu. Maka, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak
Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, sesungguhnya Pancasila adalah
Intisari atau Saripati Budaya. Inilah Budaya Nasional kita, Budaya
Nusantara, Budaya Indonesia.
Tidak berarti bahwa diluar
kelima unggulan tersebut, tidak ada unggulan-unggulan lain. Setiap
daerah memiliki unggulan-unggulan lain. Dalam setiap adat, kita
menemukan unggulan-unggulan lain. Namun, unggulan-unggulan itu tidak
selalu bersifat universal. Ada di satu daerah, tak ada di daerah lain.
Sementara itu, kelima unggulan yang tertuang dalam butir-butir Pancasila
– bersifat universal. Ada dimana-mana. Ada di Jawa, ada di Sunda, pun
ada di Minang, di Kalimantan, di Sulawesi dan di Nusa Tenggara.
Pancasila memang digali oleh
Bung Karno, kemudian dijabarkan lebih lanjut oleh para pemikir seperti
Dewantara, Sanoesi Pane dan lain-lain – tetapi, sebagaimana diakui oleh
sang penggali sendiri, sila-sila itu sudah ada sejak zaman dahulu. Bung
Karno tidak menciptakan Pancasila, beliau hanyalah menggalinya dari
budaya kita sendiri.
Kemudian, berlandaskan pada
Budaya Lokal tersebut, dibangunlah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Pancasila adalah Landasan yang digunakan untuk membangun NKRI.
Landasan ini, jelas sudah ada sebelum adanya bangunan.
Sebab itu, setiap upaya untuk
merongrongi landasan ini – hanyalah melemahkan bangunan bangsa dan
negara kita. Upaya-upaya seperti itu mesti dicegah. Tidak boleh dan
tidak bisa menunggu hingga bangunan sudah runtuh, baru beraduh-aduh.
Sayang sekali, saat ini anak
bangsa yang tidak mengerti perkara budaya, justru meremehkan peran
budaya sebagai perekat – dan mencari perekat-perekat lain. Ada yang
berusaha untuk mengganti landasan budaya dengan syariah atau
peraturan-peraturan agama, ada pula yang menganggap pembangunan dan
ekonomi sebagai perekat.
Syariah agama “tertentu” jelas
tidak bisa menjadi perekat bagi bangsa besar seperti Indonesia, karena
kita tidak beragama satu dan sama. Jumlah agama “resmi” sebagaimana
terwakili dalam Departmen Agama pun sesungguhnya tidak sesuai dengan
semangat Undang-Undang Dasar kita, dimana setiap anak bangsa memiliki
hak untuk beragama sesuai dengan keyakinannya. Jadi, jumlah agama dan
kepercayaan itu sesungguhnya tidak dapat dibatasi. Istilah agama resmi
dan tidak resmi pun hanyalah sebuah lelucon. Bagaimana pemerintah atau
siapa pun juga dapat menghakimi kepercayaan seseorang?
Pun ekonomi dan pembangunan
tidak bisa menjadi perekat yang kuat. Saat ini, Amerika Serikat kembali
menggalakkan pendalaman sejarah bagi setiap warganya. Bagi imigran yang
hendak menetap, penguasaan terhadap sejarah menjadi wajib. Kenapa?
Karena mereka baru sadar bila pembangunan dan ekonomi terbukti tidak
cukup kuat sebagai perekat bangsa.
Timur Tengah pernah menjadikan
peraturan-peraturan agama sebagai perekat. Ternyata gagal jua. Walau
mayoritas beragama satu dan sama – akhirnya tetap juga terpecah-belah
menjadi sekian banyak negara.
Pun negara Pakistan yang lahir
berlandaskan syariat agama tertentu tidak mampu mempertahankan persatuan
bangsanya lebih dari 25 tahun. Maka, lahirlah Bangladesh dari rahim
Pakistan.
Jauh sebelumnya, Eropa pernah
bersatu dibawah satu gereja. Tidak lama juga. Negara-negara yang awalnya
bersatu itu tidak hanya terpecah-belah menjadi sekian banyak negara –
gerejanya pun terpecah-belah.
Sementara itu, Nusantara dengan
jumlah pulaunya yang tak terhitung secara persis, dengan latar belakang
yang sangat beragam pula – pernah bersatu selama 1 milenia di masa
Sriwijaya. Kemudian selama 4 abad lebih di masa Singasari dan Majapahit.
Saat ini pun, lebih dari enam puluh tahun sejak kita memproklamasikan
kemerdekaan kita dari penjajah asing – kita masih bersatu. Kenapa?
Karena “Kekuatan Budaya”.
Ketika Majapahi melemah dan
Perekat Budaya diganti dengan Akidah Agama oleh Raden Patah dan mereka
yang mendukungnya – maka kita tidak mampu bertahan lebih dari 1 abad.
Dalam 1 abad saja, terjadilah perang saudara, yang kemudian dimanfaatkan
oleh para sudagar asing untuk menguasai kepulauan kita.
Maka, jelas sudah bahwasanya
Budaya sebagai perekat Bangsa memang tak tertandingi oleh
perekat-perekat lain. Kita sudah memiliki bukti sejarah, sehingga tidak
membutuhkan trial and error lagi, tidak perlu uji-coba lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar